Selasa, 10 Februari 2015

Work Life Balance

Salam Energize,

Jika kekayaan bisa membuat orang bahagia, tentunya Adolf Merckle, orang terkaya dari Jerman, tidak akan menabrakkan badannya ke kereta api.

Jika ketenaran bisa membuat orang bahagia, tentunya Michael Jackson, penyanyi terkenal di USA, tidak akan meminum obat tidur hingga overdosis.

Jika kekuasaan bisa membuat orang bahagia, tentunya G. Vargas, presiden Brazil, tidak akan menembak jantungnya sendiri.

Jika kecantikan bisa membuat orang bahagia, tentunya Marilyn Monroe, artis cantik dari USA, tidak akan meminum alkohol dan obat depresi hingga overdosis.

Jika kesehatan bisa membuat orang bahagia, tentunya Thierry Costa, dokter terkenal dari Perancis, tidak akan bunuh diri, akibat sebuah acara di televisi.

Ternyata, bahagia atau tidaknya hidup seseorang itu, bukan ditentukan oleh seberapa kayanya, tenarnya, cantiknya, kuasanya, sehatnya atau sesukses apapun hidupnya.

Tapi yang bisa membuat seseorang itu bahagia adalah dirinya sendiri... mampukah ia mau mensyukuri semua yang sudah dimilikinya dalam segala hal.

"Kalau kebahagiaan bisa dibeli, pasti orang-orang kaya akan membeli kebahagiaan itu. dan kita akan sulit mendapatkan kebahagiaan karena sudah diborong oleh mereka."

"Kalau kebahagiaan itu ada di suatu tempat, pasti di belahan lain di bumi ini akan kosong karena semua orang akan ke sana berkumpul di mana kebahagiaan itu berada ."

Untungnya kebahagiaan itu berada di dalam hati setiap manusia.
Jadi kita tidak perlu membeli atau pergi mencari kebahagiaan itu.

Yang kita butuhkan adalah HATI yang BERSIH dan IKHLAS serta PIKIRAN yang JERNIH, maka kita bisa menciptakan rasa BAHAGIA itu kapan pun, di manapun dan dengan kondisi apapun."

KEBAHAGiAAN itu milik "Orang-orang yang dapat BERSYUKUR."

"JIKA KAMU TIDAK MEMILIKI APA YANG KAMU SUKAI, MAKA SUKAILAH APA YG KAMU MILIKI SAAT INI.

INI ADALAH REFLEKSI YANG BANYAK BEREDAR DI MEDIA SOSIAL.
Ada kesadaran bahwa mengejar meaning/makna hidup jauh lebih utama dan penting dibandingkan hanya sekedar mengejar uang. Keseimbangan hidupdan kerja (Work Life Balance) menjadi ukuran baik secara individu, group, kolektif, perusahan maupun bangsa. Penelitian menunjukkan Work Life Balance berdampak pada produktivitas kerja.

PRODUCTIVITY = ATTITUDE x  TIME MANAGEMENT, artinya
Mengelola waktu    sangat penting untuk meningkatkan produktivitas yang mau dicapai agar memenuhi keseimbangan  antara hidup dan kerja. Bagaimana konsepnya ? Simak video berikut ini !!!





What : Apa itu Worklife Balance ? Worklife Balance itu ibarat Orkestra “Indah kalau seirama”



Why :  Mengapa Worklife Balance  itu Penting ?
Perkembangan alat komunikasi (Smart Phone) dan media komunikasi (Media Sosial) membangun dunia tanpa batas (Borderless). Perkembangan ini menuntut keseimbangan antara kerja profesional diantara kehidupan personal, karena batas batasnya menjadi kabur (blur). Waktu 24 jam sehari dan 7 hari seminggu (24/7) sulit untuk dipisahkan, apakah untuk kepentingan profesional atau kepentingan personal ? Inilah alasan mengapa Worklife Balance itu penting. 

How :  Bagaimana mengaktifkannya ?
1. Achievment. Pencapaian terbaik dipekerjaan (profesional) akan mendorong keinginan untuk memenuhi (fullfilment) pencapaian terbaik di level personal.

2. Happiness. Memahami betul alasan dan konsep yang jelas mengapa bahagia dan apa ukurannya. Dengan demikian akan memiliki keyakinan “apa saja yang dikerjakannya akan berhasil”

3. Adversity. Memiliki daya tahan yang cukup. Dalam arti ketika tekanan datang maka tekanan tersebut tidak sampai menggeser fokus sasaran tujuan profesional maupun tujuan personal.

5 Tantangan Work Life Balance
1. Time. Bagaimana mengelola waktu yang berkualitas ? Mengelola waktu  sangat penting untuk meningkatkan produktivitas. Waktu terbesar yang terbuang percuma saat ini  adalah tugas yang tak terduga (dan biasanya tidak penting). Selain itu, kita semua tahu bahwa dorongan untuk membaca email yang baru saja datang atau untuk mengintip pemberitahuan terbaru dari sosial media yang kita ikuti tidak disadari akan mengurangi waktu yang berkualitas.

2. Space. Bagaimana mengelola workspace real dan virtual space ? "Space" mengacu pada lingkungan kerja di kantor, rumah dan di  ruang virtual. Workspace mungkin bukan batas akhir, tetapi merupakan elemen penting untuk meningkatkan produktivitas kerja. Dengan pertimbangan kemajuan teknologi internet, beberapa perusahaan menemukan fakta bahwa membiarkan karyawan bekerja dari rumah memiliki keuntungan lain termasuk mengurangi waktu perjalanan, waktu makan siang lebih pendek dan hari-hari sakit lebih sedikit.



3. Integration.  Bagaimana mengintegrasikan pekerjaan ? Integrasi  pekerjaan dalam kehidupan bukan hanya tentang menemukan waktu di rumah untuk menangani tugas-tugas kerja dan menangani tugas-tugas rumah di tempat kerja, meskipun itu adalah persepsi populer. Alih-alih berpikir " pekerjaan  apa yang bisa diiintegras ke dalam kehidupan dirumah", fokus pada gambaran yang lebih besar: Mengintegrasikan semua bidang kehidupan kita dengan cara terbaik yang  bisa dilakukan. Tujuan akhir untuk mengoptimalkan bagaimana kita menggunakan waktu sehingga  kita dapat memenuhi semua kebutuhan  sehari-hari, baik dalam pekerjaan maupun dalam kehidupan pribadi kita. 

4. Satisfaction. Bagaimana kepuasan kerja dapat dicapai ? Konsep kepuasan bukanlah perasaan, prestasi atau keberhasilan. Sebaliknya, kepuasan adalah sensasi yang lebih mengetahui pada tingkat inti kita menghabiskan waktu kita melakukan apa yang kita kerjakan. Kepuasan bukanlah pengalaman emosional sekilas atau mencapai tonggak profesional atau pribadi tertentu. Ini adalah siapa kita, setiap hari, apakah kehadiran kita bermakna , apakah semua itu dianggap sebagai bekerja, pengasuhan, kegiatan rekreasi, atau sebaliknya. Kita adalah makhluk hidup secara keseluruhan, bukan serangkaian pengalaman sehari-hari yang  terkotak kotak. 

5. Organization. Apakah  perusahaan tempat dimana bekerja benar benar memiliki nilai nilai work life balance ? Saat ini, semakin banyak perusahaan yang menyadari pentingnya nilai nilai work life balance, sehingga  dapat menemukan pilihan yang baik di banyak industri yang berbeda atau berpeluang untuk dual career tanpa melanggar aturan perusahaan, bahkan perusahaan membuat aturan dan mendorong terciptanya iklim dual career.

TESTIMONI : PELAJARAN DARI BEN: TENTANG MENJADI AYAH

Sore ini saya mengikuti sebuah seminar di kampus saya, Monash University, bersama Dr. Ben Wellings. Di usianya yang relatif muda, Ben dikenal sebagai seorang ahli dalam bidang politik dan sejarah Eropa dengan reputasi yang sangat baik. Sore ini, puluhan orang memenuhi mini-theatre berkapasitas sekitar 120 orang, khusus untuk mendengarkan ceramahnya.

Di tengah-tengah seminar, saat Ben dengan semangat menjelaskan sejarah nasionalisme di Eropa, saat semua orang khusuk menyimak, tiba-tiba telepon genggamnya berdering. Tentu saja dia merasa bersalah, "Maaf itu bunyi telepon saya," katanya. Lalu ia bergegas mengambil handphone-nya dari tas. Ia tampak ingin segera mematikan dering itu, tetapi nama yang muncul di layar menghentikannya.

"Ini dari anak saya," katanya kepada hadirin, "Bolehkah saya mengangkatnya sebentar saja?"

Para hadirin tersenyum sambil mengiyakan.

Lalu dengan rikuh Ben mengangkat teleponnya. Karena ruangan seminar begitu hening, kami bisa mendengarkan suara anak laki-lakinya di balik telepon.

"Hi, Dad!" Seru bocah di balik telepon.

"Hi!" Ben menjawab sambil merasa tidak enak pada kami semua, "What’s happened? Are you, OK? I'm in a lecture." Suara Ben khawatir.

Seolah tak menghiraukan apa yang sedang dilakukan ayahnya. Anak laki-laki itu terdengar terus berbicara sambil merengek. Tentu saja kami tak bisa mendengar pembicaraannya dengan jelas. Tetapi kami mengerti apa yang sedang anak itu minta dan tanyakan kepada ayahnya setelah mendengarkan respons Ben,

"Yes, honey," jawab Ben sambil tersenyum, "You can have fried rice..."

Ben menatap ke arah kami dengan senyum lebar. Kami seketika tertawa.

Tak lama Ben menutup teleponnya, "Jangan membuat ibumu marah. Ayah pulang sebentar lagi," katanya di akhir percakapan.

Kami masih tertawa dan tersenyum-senyum ketika Ben menutup teleponnya sambil memasang mode ‘silent’. "Maaf," katanya dengan rikuh, "Beginilah jadi seorang ayah. Mungkin kita seorang ahli dalam bidang tertentu, tapi bagi anak-anak di rumah, kita hanyalah seorang ayah… dan di antara pertanyaan yang perlu dijawab seorang ayah adalah bolehkah anaknya makan nasi goreng untuk makan malam?"

Kami semua tertawa. Lalu Ben melanjutkan ceramahnya. “OK, let’s back to the political scientist mode!” Katanya.

Hari ini, saya mendapatkan pelajaran baru tentang menjadi ayah. Siapapun kita di luar, sehebat apapun kita di mata orang-orang… Bagi anak-anak kita, kita tetaplah seorang ayah… Dan ayah yang hebat bukanlah seorang presiden, pengusaha kaya raya, tokoh masyarakat, atau orang penting di kantor… Ayah yang hebat adalah ayah yang benar-benar menjadi ayah bagi anak-anaknya.

Mari menjadi ayah yang hebat!

Learning Point :  Pembelajaran apa yang diharapkan dari   Worklife Balance ? Keseimbangan kerja profesional dan tuntutan kebutuhan personal akan mendorong peningkatan indeks kepuasan kerja. Peningkatan ini akan berdampak pada peningkatan hasil usaha. JHM

Artikel Terkait : Entropy http://jhmanurung.blogspot.com/2015/02/entropi-pada-kultur-korporasi.html 








Tidak ada komentar:

Posting Komentar